Jum'at, 07-02-2020 11:42 WIB
Ambisi Serikat Buruh Mendorong Terciptanya Instrumen Baru PBB dan ILO untuk pengaturan Korporasi Global
Martua Raja - Media KSBSI


Tahun 2016 lalu dalam salah satu komite sidang Konferensi ILO di Jenewa, pembahasan Global Supply Chain (rantai pasok gobal) gagal disepakati menjadi sebuah standard internasional.

Pengusaha sangat berkeras menentang ide serikat buruh memunculkan inisiatif pengaturan keberadaan rantai pasok dalam kaitan tanggung jawab hukum perusahaan multinasional yang terkait.

Dua argument besar penolakan pengusaha saat itu adalah bahwa rantai pasok telah mengambil bagian menciptakan pekerjaan dan mendorong percepatan ekonomi. Argumen lain adalah bahwa bilapun ada masalah yang timbul terkait upah murah, rendah perlindungan K3 dan jaminan social, status kerja kontrak, outsourcing sampai pemberangusan serikat buruh semua itu lebih pada pelanggaran regulasi negara sehingga issunya mengarah pada penegakan hukum dan pengawasan perburuhan yang nota bene tugas pemerintah negara untuk menyelesaikannya dan bukan kebutuhan pada instrument global.

Boleh dikatakan pembahasan menjadi stagnan dan berhenti disana. Delegasi pengusaha Indonesia yang diprakarsai Greg Chen-ketua ABADI (Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia) menentang keras pandangan negative atas outsourcing. Mayoritas delegasi pemerintah termasuk Indonesia berada pada posisi diam seperti biasa dan terkesan menolak ide instrument Global Supply Chain tersebut.

ITUC dan serikat buruh afiliasinya tidak gampang menyerah. Dalam pertemuan bersama para ahli dunia dari beberapa akademisi universitas bonafid Belanda, Swiss, India, Prancis dan organisasi pemerhati buruh seperti Solidarity Center,     di Paris 30 September dan 1 Oktober kemarin diulas fakta-fakta apa yang bisa memperkuat upaya membawa kembai pembahasan ini ke permukaan.

Maria Emeninta sebagai kordinator program MNCs dan suplly chain KSBSI dan Asia IIWE diundang untuk mempersentasikan faktafakta temuan di Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap cukup aktif bersuara pada ILC 2016 lalu.

Beberapa inisiatif senada di level berbeda juga di ulas untuk memperkuat argument agar pembahasan Global Supply Chain disetujui untuk diagendakan di konferensi ILO 2021. Sebut saja Prinsip Panduan PBB untuk bisnis dan HAM (UNGP) atau Deklarasi Tripartit ILO tentang Prinsip Perusahaan Multinasional dan Kebijakan Sosial (ILO MNE Declaration) atau SDGs yang seharusnya membawa perbaikan namun belum cukup signifikan membawa perubahan hingga saat ini, bahkan terkesan keadaan semakin memburuk.

Salah satu issu yang cukup menguat ke permukaan saat ini adalah pembahasan Due Diligence Legislation (Hukum Standar Kepatuhan) yang dimunculkan Prancis dan diikuti Swis dan Belanda yang sedang dalam proses menjadikan legislasi nasional di negara mereka, diikuti Belgia yang sedang mendiskusikannya secara intensif. Ide ini dianggap sangat terkait dalam upaya mendesain instrument Global Supply Chain.

Proses lain yang juga akan cukup mendukung adalah diskusi tentang Instrumen PBB terkait HAM dan pelaku bisnis korporasi yang lebih dikenal dengan UN Binding Treaty. Inisiatif ini sefang dalam tahap akhir dan akan dputuskan pada pembahasan komisi tinggi PBB akhir tahun ini.

Pada Diskusi inisiatif sosial dialog ILO Pebruari 2019 lalu, inisiatif perluanya sebuah konvensi yang mengatur rantai pasok global (Global Supply Chain) menjadi rekomendasi kuat yang mendorong ITUC melakukan pendalaman diskusi sebagaimana dilakukan di Paris tersebut. Rekomedasi dari Paris ini akan dimunculkan untuk memperkuat pembahasan oleh para ahli dalam salah sau mekanisme ILO: Expert Meeting pada Pebruari 2020. (M/E)


Berita Lain